Salah Kaprah Mengartikan “Runtah”

Antropolog Budaya Sunda Ade Makmur mengatakan, salah kaprah itu disebabkan oleh pengertian masyarakat yang sempit terhadap kata “runtah”.
Masyarakat hanya memaknai “runtah”, kata dalam bahasa Sunda yang berarti sampah, sebatas sampah organik yang cepat terurai. Mereka pun menerapkan anggapan yang sama pada sampah anorganik dan residu. Kedua jenis sampah itu dianggap seperti “runtah” yang gampang terurai oleh alam. Padahal, sampah anorganik dan residu sulit terurai di alam.
Salah pengertian itu yang mendorong masyarakat untuk seenaknya membuang sampah sembarangan.
“Orang perlakukan sampah (anorganik dan residu) seperti runtah, oh nanti juga hancur. Hal itu karena pengalaman berabad-abad lalu, sudah terpatri di benak bahwa sampah itu runtah,” ucap Ade dalam webinar “Sabilulungan Ngurus Runtah” yang diadakan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Jawa Barat secara daring, Jumat (21/3/2025).
Untuk meluruskan pemahaman masyarakat, perlu dilaksanakan edukasi terus-menerus tentang pengolahan sampah. Masyarakat diberi tahu bahwa sampah tidak hanya berjenis organik, tetapi juga ada anorganik dan residu.
“Sampah tidak ditempatkan hanya sebagai runtah, tetapi sampah itu ada yang susah dihancurkan. Oleh karena itu, perlu mengubah pengetahuan orang Sunda,” kata Ade.
Selain memberikan pengetahuan tentang sampah, budaya untuk tidak membuang sampah sembarangan juga perlu diterapkan. Cara yang paling efektif, menurut Ade, adalah dengan menanamkan rasa malu kepada pembuang sampah sembarangan. Rasa malu akan membuat orang merasa bersalah.
Sanksi sosial juga perlu diterapkan kepada orang yang membuang sampah sembarangan. Penerapannya bisa dimulai di rumah. Orangtua menegur anak yang membuang sampah sembarangan.
Dengan menanamkan rasa malu dan memberikan sanksi, Ade yakin bisa mengurungkan niat orang yang mau buang sampah sembarangan.*
No Comment