Blog

Citarum Dalam Kemerdekaan Indonesia

Sungai Citarum disebut-sebut dalam peristiwa penting tanah air ketika kemerdekaan bangsa ini akhirnya diraih Indonesia pada 17 Agustus 1945 silam.
Dilansir dari medcom.id artikel “Rumah penentu sejarah di bantaran Citarum” yang ditulis Selasa 17 Agustus 2021, peristiwa Rengasdengklok tak bisa dipisahkan dari Proklamasi Kemerdekaan negeri ini. Di sebuah rumah seorang Tionghoa di bantaran Citarum, sekelompok pemuda mendesak Soekarno dan Hatta segera memproklamirkan Kemerdekaan RI.
Pada saat itu rumah tersebut tempat tinggal keluarga Djiauw Kie Siong. Fatmawati dan bayinya ikut dijemput paksa oleh Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh yang mengasingkan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945.
 
Rumah berdinding kayu tersebut dipilih karena dekat dengan markas PETA (Pembela Tanah Air, pasukan paramiliter bentukan Jepang). Selain itu Djiauw Kie Siong yang sehari-harinya adalah petani juga salah seorang prajurit PETA.
Bangunan sederhana ini memiliki bentuk atap limasan berbahan genting. Dinding berwarna putih dengan pintu dan jendela berwarna hijau. Bagian depan rumah memiliki serambi yang terbuka.
 
Pada bagian dalam terdapat ruang tamu dan dua kamar yang sempat digunakan Soekarno dan Hatta beristirahat. Lantainya terbuat dari ubin berwarna terakota yang biasa digunakan untuk rumah keturunan Tionghoa.
 
Pada 1957, rumah aslinya yang berada di pinggiran Sungai Citarum dipindahkan ke lokasi yang berjarak sekitar 150 meter dari tempat aslinya di Kampung Bojong. Meski dipindahkan, namun kondisi rumahnya masih dipertahankan.
 
Sementara itu, dikutip dari Tempo.co, Senin 16 Agustus 2021, menjelaskan sosok Djiaw Kie Song merupakan salah satu sosok penting yang sering terlupakan dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesi. Ia seorang keturunan Tionghoa pemilik sebuah rumah di Dusun Bojong, Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Di rumah tersebut, Sukarno, Hatta, dan para golongan pemuda kala itu menginap untuk menuntut Bung Karno dan Bung Hatta supaya segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa tersebut kemudian dikenal luas sebagai Peristiwa Rengasdengklok.
Dilansir dari p2k.unkris.ac.id, dalam peristiwa Rengasdengklok naskah proklamasi kemerdekaan sedianya akan dibacakan di rumah Djiaw Kie Song pada 16 Agustus 1945. Naskah tersebut telah disusun di rumah itu. Pada 15 Agustus 1945, para pemuda bahkan telah mengibarkan bendera merah putih. Namun, pada Kamis sore, Ahmad Subarjo datang dan mengajak untuk membacakan naskah proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Sebagai seseorang yang memiliki kontribusi dalam perjuangan kemerdekaan, kehidupan Djiaw Kie Song layaknya rakyat biasa. Dilansir dari Majalah Tempo, ia lahir pada 1880 di Desa Pisangsambo, Karawang, Jawa Barat. Tempat kelahirannya ini berada 11 kilometer dari rumah tempat penculikan Sukarno dan Hatta oleh para pemuda. 
Pada usia 8 tahun, Djiaw Koe Song mengikuti orang tuanya menyeberangi Sungai Citarum dan menetap di sebuah lembah bekas aliran sungai. Di tempat ini, Djiaw menghabiskan masa kecilnya dengan berbagai hal. Salah satunya adalah memelihara hewan ternak. Babi adalah salah satu hewan ternak yang dipelihara oleh Djiaw. Tidak hanya itu, kesuburan tanah di lokasi tempat tinggalnya membuat Djiaw menjadi seorang petani ketika dewasa
Selain beternak dan bertani, Djiaw juga merupakan seorang pedagang. Tanaman bambu yang tumbuh subur di sekitar Sungai Citarum diolah oleh Djiaw menjadi pundi-pundi uang. Ia merendam bambu tersebut ke sungai supaya menjadi awet dan tidak mudah lapuk, lalu menjualnya. Selain menjual bambu, Djiaw juga menjual pasir yang ia tambang di Sungai Citarum. Sungai tersebut benar-benar menjadi sumber penghidupan utamanya kala itu.
Ketelatenan dan sumber penghasilan yang bermacam-macam membuat Djiaw hidup dalam kondisi yang berkecukupan. Setelah usahanya berkembang pesat, Djiaw membangun rumah yang menjadi latar tempat Peristiwa Rengasdengklok pada 1920. Selain rumah tersebut, Djiaw juga membeli beberapa petak tanah lain. Karena itu, Djiaw pun dikenal sebagai seorang tuan tanah di kampungnya.
Meskipun memiliki usaha yang besar dan berkembang pesat, pada akhir hayatnya, Djiaw Kie Song mengalami beberapa kesulitan. Rumahnya yang sempat menjadi tempat singgah para pendiri bangsa digeser sebelum terendam luapan Sungai Citarum setelah Proklamasi Kemerdekaan. Selain itu, meskipun memiliki kontribusi terhadap upaya perjuangan kemerdekaan, Djiaw tidak mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah. Saat itu, Djiaw hanya berharap supaya pemerintah tidak mempersulit urusan kependudukan keluarganya.(*)

No Comment

No Comments

Post a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.