“Sampah memiliki berbagai dampak negatif bagi manusia, mulai dari masalah kesehatan, sosial, budaya, dan lainnya. Total produksi sampah kota di Indonesia mencapai 68,8 juta per tahun,” ucap Deputi Basilio dikutip dari situs resmi.
Berbagai tempat pembuangan akhir di beberapa daerah telah penuh dan bahkan telah melebihi kapasitas yang ada. Hal ini tentunya merugikan manusia khususnya di bidang kebersihan dan kesehatan.
Pemerintah telah memiliki berbagai kebijakan yang komprehensif. Dalam memaksimalkan kebijakan ini, dibutuhkan kolaborasi dan kerjasama aktif dari berbagai pihak, salah satunya investor untuk menjalankan skema yang ada dan menyediakan instalasi PSEL.
“Kerjasama dengan pemerintah khususnya Pemerintah Daerah sebagai mitra begitu lebar demi menyukseskan skema ini,”ujar Deputi Basilio.
Salah satu kebijakan yaitu Perpres Nomor 35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan menjadi dasar kuat bagi 12 daerah dalam mengolah sampah kota yang ada.
Perpres ini mengubah paradigma pengelolaan sampah dari waste to energy menjadi waste reduction, “Penanganan sampah harus berfokus pada pengurangannya, bukan pada hasil dari pengolahan sampahnya, berupa energi listrik,” kata Deputi Basilio.
Perpres ini pula menjadi dasar pengolahan sampah menjadi energi dengan menciptakan skema ekonomi sirkular. Perpres ini didasari pada beberapa konteks, yaitu diperlukannya instalasi pemusnahan sampah berskala besar, ketidakmampuan APBD untuk membayar Biaya Layanan Pengolahan Sampah, Indonesia memilih performance-based payment dengan BLPS, diperlukannya penjualan listrik untuk menurunkan beban APBD, dan BLPS menjadi terjangkau dengan penetapan tarif listrik.
“Kewajiban pemerintah daerah dalam mengelola sampah biasanya bersumber dari APBN maupun APBD, tetapi dibutuhkan pula penguatan lain,” ujar Deputi Basilio.
Menurutnya, penguatan ini diperlukan untuk mengolah sampah berbasis standar perlindungan lingkungan dan mampu menghasilkan pendapatan lain seperti produksi listrik yang telah memiliki dasar hukum, konsep kontrak, dan kelembagaan melalui PLN,”ucap Deputi Basilio.
Dari pola pikir ini, PSEL memiliki peranan yang berbeda dari PLTSa dan mengembalikan ruh pengelolaan sampah yang tidak disalahartikan dengan penyediaan listrik semata, melainkan keinginan bangsa dalam membenahi manajemen sampah di berbagai kota.
“Dalam mengelola sampah menjadi energi listrik, penentuan teknologi tepat guna, penentuan model bisnis, hingga penentuan model kerjasama menjadi kunci yang harus dipegang teguh,” kata Deputi Basilio.
Skema kerjasama dengan pihak ketiga mencakup penyediaan pelayanan publik, kerjasama pengelolaan aset, investasi, dan lainnya.
“Dalam skema ini, pihak ketiga berkedudukan sebagai mitra dan pemerintah daerah menjadi penyedia bahan baku, sehingga kemitraan ini dapat menguntungkan semua pihak,”tutur Deputi Basilio.
Pihak Investor yang melakukan proses pengadaan PSEL pun merupakan Badan Usaha Pengembang yang dapat mereduksi volume sampah secara signifikan (minimal 85%) dengan variabel standar lingkungan/kriteria/parameter emisi yang ditentukan dengan besaran BLPS sebagaimana yang ditetapkan dalam FS, sedangkan pilihan teknologi dan risiko diserahkan ke Mitra.
Diharapkan, berbagai pihak mampu meningkatkan ekonomi sirkular dari pengolahan sampah menjadi energi dan menjadikan Indonesia mampu mencapai ambisi besarnya dalam pengurangan sampah.(*)
No Comment