Kisah Inspiratif di Balik Sungai Citarum
Di balik upaya penanganan Sungai Citarum, ada cerita-cerita inspiratif yang dapat diambil dari individu-individu yang selama ini berhubungan langsung dengan sungai yang kini ada di kualitas air cemar ringan itu.
Dikutip dari kompas.com dengan judul “Kisah Para Pemberi Kabar Sungai Citarum…” yang terbit pada Selasa (8/11/2022) yang ditulis oleh Kontributor Karawang, Farida Farhan, mengisahkan para pengamat Sungai Citarum di kawasan Karawang Bekasi.
Dituturkan media tersebut, Ahmad Iskandar (55) Kaur Operasional Wilayah 1 Bekasi Perum Jasa Tirta (PJT) II kesehariannya mengamati kondisi Sungai Citarum. Di antaranya di Jembatan Bojong yang menghubungkan Karawang-Bekasi. Dia memerhatikan alat pengukur manual di jembatan. Juga memastikan (Automatic Water Level Recorder (AWLR) berfungsi mengukur ketinggaian air Sungai Citarum.
Ahmad bertugas di Pos Kedunggede Sungai Citarum beserta tim secara bergantian memantau ketinggian air Sungai Citarum secara manual maupun AWLR.
“Kita diminta terus melapor. Apalagi jika ketinggian air di atas 9 mdpl (meter di atas permukaan laut,” kata Ahmad kepada Kompas.com.
Ahmad yang bertugas sebagai Kaur Operasional Wilayah 1 Bekasi Perum Jasa Tirta (PJT) II itu bekerja sebagai “pengamat” Sungai Citarum sejak 2013. Ia hapal betul kondisi ketinggian air dan potensi banjir hingga wilayah hilir.
“Jika di sini ketinggian 13,30 mdpl, air 13 mdpl akan sampai di hilir daerah Batujaya lima jam kemudian,” kata Ahmad.
Tugas Ahmad adalah memberikan informasi yang valid agar tak ada kabar hoaks yang membuat masyarakat gusar. Diakui dia, dahulu pernah terjadi hoaks yang membuat warga resah. Bersyukur kini infomasi lebih mudah diakses. Baik melalui kanal media sosial PJT II atau stakeholder terkait.
“Dengan informasi valid yang kami sampaikan hoaks terhindari. Masyarakat dan pihak terkait di wilayah rawan juga bisa bersiap,” kata dia.
Di sisi lain, Ahmad Iskandar menyebut, tahun 2021 ketinggian air Sungai Citarum sampai tak terbaca dengan pengukur manual. Namun dalam AWLR tercatat 15,33 mdpl.
Kemudian, diketahui pada Februari 2021, tanggul di Desa Sumberurip, Kecamatan Pebayuran, Kabupaten Bekasi jebol dan luapan Sungai Citarum menggenangi perkampungan.
Ahmad menyebut saat terjadi tanggul jebol, arus air bisanya mengalir berlawanan arah, meluap ke perkampungan, baru kembali mengikuti arus sungai. Pemerintah kemudian menetapkan bencana nasional. “Hingga Presiden Jokowi meninjau langsung,” kata dia.
Saat itu, kata Ahmad, banyak akses jalan terputus. Termasuk akses menuju Pos Pengamatan Sungai Citarum di Kedunggede. Karena itu, saat hendak bertugas menuju pos pengamatan, ia harus memutar dari rumahnya di Kosambi melewati jembatan Rengasdengklok-Pebayuran.
“Saya muter. Waktu tempuh jadi tiga jam, karena banyak akses yang terputus karena genangan banjir,” tutur dia.
Meski begitu, ia tak kepikiran untuk meliburkan diri. Sebab ada tugas bagi pengamat Sungai Sitarum seperti dirinya. “Informasi dari kami sangat penting, demi kepentingan masyarakat,” ucap Ahmad sambil menyeruput kopi.
Sementara itu, Yudi Pingpong, Pengamat Sungai Citarum wilayah Karawang menyebut, jika kondisi normal, pengamatan manual dan laporan dilakukan tiga jam sekali. Namun saat prediksi hujan terjadi, frekuensi pengamatan lebih sering.
“Kalau di Karawang tidak mengenal musim penghujan. Kalau wilayah Bogor, Bandung, Purwakarta, dan Loji Karawang hujan lebat, ini perlu kita waspada,” kata dia masih dikutip dari artikel yang sama.
Apalagi, terjadi pertemuan antara dua sungai besar, yakni Citarum dan Cibeet. Ini membuat debit air kedua Sungai Saling berpengaruh.
Data manual maupun AWLR yang tim catat, sambung Yudi, tak hanya dilaporkan ke PJT II. Melainkan instansi lain, misalnya pemerintah daerah, camat, desa, TNI, Polri, hingga relawan. “Bahkan biasanya stakeholder terkait ikut memantau,” kata dia. (*)
No Comment