Dikutip dari siaran pers Kementerian Perindustrian tahun lalu, Kemenperin aktif memberikan pelatihan kepada para pelaku industri batik di tanah air agar semakin berdaya saing global. Upaya ini diharapkan dapat memacu kompetensi para perajin batik sekaligus mendorong terciptanya inovasi produk.
“Beberapa waktu lalu, unit litbang di bawah binaan kami, yakni Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) di Yogyakarta telah menyelenggarakan pelatihan kepada perajin yang tergabung dalam Asosiasi Perajin Batik Jawa Timur (APBJ) di 38 kabupaten dan kota,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Doddy Rahadi di Jakarta, Senin (7/9/2020).
Kepala BPPI menyampaikan, salah satu fokus materi pelatihan yang diberikan saat itu adalah tentang proses pembuatan batik yang ramah lingkungan. Tujuannya untuk menciptakan efisiensi pemakaian bahan baku, energi, dan hemat air, sehingga limbah yang dihasilkan lebih sedikit. Hal ini sesuai dengan implementasi prinsip industri hijau yang dapat mendukung konsep ekonomi secara berkelanjutan.
“Praktik industri hijau ini sangat penting dan mutlak untuk segera dilaksanakan guna tercapainya efisiensi produksi serta menghasilkan produk yang ramah lingkungan. Apalagi, industri ramah lingkungan merupakan sebuah ikon yang harus dipahami dan dilaksanakan dalam menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan,” ujaarnya.
Untuk itu, guna mempercepat penerapan industri hijau dalam aktivitasnya, pelaku usaha perlu memanfaatkan teknologi modern atau hasil riset yang sudah ada. “Pengembangan industri yang ramah lingkungan bisa dilakukan melalui sejumlah cara. Mulai dari produksi bersih, konservasi energi, efisiensi sumber daya, proses daur ulang hingga teknologi rendah karbon,”ucap Doddy.
Sementara itu, dikutip dari tempo.co memaparkan cara membuat batik ramah lingkungan. Peneliti Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta Dwi Suheryanto menuturkan, meskipun berbahan alam, warna batik tidak mudah pudar.
Menurut Dwi, bertahannya warna batik bergantung pada cara pengikatan dan pencelupan saat pembuatannya. “Saya punya kain batik yang sudah berumur 100 tahun dan warnanya masih bagus,” katanya saat ditemui di workshop batik alam, di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Proses pembuatan pewarna alami batik ini ternyata cukup mudah. Hampir semua bahan dasar batik alami diambil dari bagian tumbuhan, seperti daun, kulit, batang, biji, buah dan bunga. Khusus untuk buah, pengrajin hanya perlu menumbuk dan mengambil sari-sari buah sebagai pewarna.
Sedangkan untuk bagian tumbuhan lainnya harus direbus terlebih dahulu dengan perbandingan 1 kilogram bahan dicampur 10 liter air. Bahan tersebut direbus selama satu setengah jam hingga menghasilkan 5 liter ekstrak pewarna.
Warna yang dihasilkan pun beragam, tergatung dari proses fiksasi atau pengikatan warna. Untuk warna pekat, dianjurkan menggunakan tanjung atau tenosulfat. Adapun kapur menghasilkan warna lebih muda, sedangkan tawas mebuat warna lebih terang. Semakin sering batik dicelup maka akan semakin awet warnanya.
“Kalau pakai bahan kimia biasanya tiga kali celup sudah bagus warnanya, tapi kalau pakai bahan alam perlu dicelup sampai lima belas kali atau lebih,” ujar dosen seni rupa UPI Badi Sobandi.
Banyaknya pencelupan pun tergantung dari warna yang diinginkan, kata Badi, apakah ingin lebih muda atau pekat.
Dwi menyarankan menggunakan kain berbahan selulosa dan protein, seperti sutra, wool, rayon, dan katun, dalam pembuatan batik alam. “Kain itu bisa membuat warna batik awet,” tuturnya.
Ia pun berharap batik alam ini dapat membuka peluang usaha industri kreatif di Indonesia, sebab selain ramah lingkungan, batik alam memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan batik dengan pewarna kimia. Harga batik alam bisa mencapai 3 kali lipat dari batik biasa.(*)
No Comment