Dikutip cnnindonesia.com Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan pihaknya memprediksi potensi La Nina kembali terjadi di Indonesia akibat peningkatan masa udara basah dari Samudera Pasifik menuju Indonesia.
“Berdasarkan pemantauan parameter anomali iklim global oleh BMKG dan institusi internasional lainnya, terdapat indikasi atau gejala, peluang bahwa kondisi ENSO netral tersebut, akan berkembang menjadi La Nina pada akhir 2021,” kata Dwi dalam jumpa pers BMKG, Kamis (26/8/2021).
Dengan kondisi itu, terang Dwi, La Nina akan mengakibatkan curah hujan di Indonesia tinggi. Pada 2020, La Nina menyebabkan curah hujan di Indonesia meningkat 40 persen, bahkan di beberapa wilayah sampai 80 persen.
“Tahun lalu meningkat hingga 40 persen. Bahkan beberapa wilayah sampai 80 persen. Ini adalah peluang akan terjadi kembali di akhir tahun nanti,” kata dia.
Meski demikian, sejumlah prakiraan lain lewat Indian Ocean Dipole, kata Dwi, fenomena cuaca di Samudera Pasifik tak akan berdampak buruk atau netral terhadap cuaca di Indonesia.
“Meskipun, Indian ocean dipole atau indeks untuk memprediksi apakah akan terjadi penambahan masa udara basah dari Samudera Hindia, ini menunjukkan netral. Artinya peluang itu relatif tidak ada,” kata dia.
Dwi akan tetapi tetap mengimbau masyarakat agar mewaspadai cuaca ekstrem memasuki Desember mendatang. Kondisi ekstrem seperti, hujan lebat disertai petir, angin puting beliung, berpotensi akan mulai terjadi mulai September hingga awal Januari 2022.
“Ini mohon diwaspadai angin kencang puting beliung, kemudian juga hujan es, juga berpotensi terjadi. Kemudian dalam satu hari, dapat terjadi cuaca yang tidak menentu,” kata dia.
Sementara itu, Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Barat Dani Ramdhan memperingatkan Jabar harus bersiap dari sekarang mengantisipasi bencana akibat fenomena lanina yang diprediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofosika (BMKG) muncul akhir 2021.
Antisipasi bencana harus menggunakan paradigma baru yakni mengurangi risiko bencana dengan mitigasi dan bukan lagi pada penanggulangan pascabencana.
“Pengurangan risiko bencana itu lebih menekankan kepada upaya-upaya pencegahan terjadinya bencana. Jadi, segala upaya yang dilakukan prabencana seperti pelestarian lingkungan” katanya.
Dani menjelaskan lebih dari 90 persen bencana yang terjadi di bumi berakar pada kerusakan alam. Oleh karena itu upaya yang dilakukan adalah melestarikan alam.
“Upayanya adalah mencoba menyeimbangkan kembali antara kebutuhan manusia yang bersumber dari alam dengan pelestarian alam. Artinya manusia boleh mengeksplotiasi alam untuk kebutuhannya, tetapi tetap harus dibarengi dengan pelestarian,” jelas Dani.
Ia menyebut, sebagian besar bencana di Jabar adalah bencana hidrologi atau selalu berkaitan dengan air seperti banjir, tanah longsor, tanah bergerak, bahkan tsunami. “Bencana yang terjadiakibat air tidak lagi bisa ditahan karena pohon-pohon semakin berkurang,” katanya.
Musim kemarau saat ini disebut sebagai kemarau basah, yang artinya tetap membawa potensi hujan ringan sedang dan besar. Dalam prediksi lanina BMKG pun disebutkan musim cenderung basah yang artinya intensitas hujan akan naik 40-80 persen.
Jabar sebagai daerah rawan bencana sudah bersiap menghadapi bencana alam, di samping tetap harus menghadapi bencana nonalam wabah penyakit akibat virus Covid-19.
“Kita sudah mengantisipasi dengan berbagai langkah, di antaranya penyiapan SDM terutama di kabupaten/kota, penyiapan alat, dan penyiapan mitigasi termasuk logistik. Titik beratnya ada di BPBD kabupaten/kota,” ungkapnya.(*)
No Comment