Blog

Thrift Shop Dampak Positif dan Negatifnya

Tidak dapat dipungkiri thrift shop atau belanja barang bekas kini semakin banyak diminati, terutama oleh kalangan muda. Selain kualitas barang, konsumen tertarik berbelanja baju bekas karena harga yang murah.

Dikutip dari katadata, membeli di thrift shop adalah alternatif konsumsi pakaian yang lebih murah serta menunjang sustainable living.

Menurut World Wide Fund for Nature (WWF), sustainable living adalah sebuah gaya hidup yang menyeimbangkan upaya lokal dan global untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dengan tetap melestarikan lingkungan alam dari degradasi dan kerusakan.

Faktor utama penyebab kerusakan alam adalah aktivitas manusia, termasuk aktivitas industri garmen.

Menurut data dari United Nations Environment Programme (UNEP), setiap tahun, industri fashion menggunakan 93 miliar meter kubik air dan sekitar 20% air limbah industri fashion di seluruh dunia berasal dari pencelupan dan pengolahan kain.

Data dari UNEP juga menunjukkan bahwa industri fashion bertanggung jawab atas 10% emisi karbon global tahunan dan diprediksi emisi tersebut akan melonjak lebih dari 50% pada tahun 2030.

Riset terbaru dari YouGov Omnibus tahun 2017 mengungkapkan bahwa dua pertiga orang dewasa (66%) di Indonesia membuang pakaian dalam satu tahun terakhir dan seperempat (25%) telah membuang lebih dari sepuluh item pakaian dalam satu tahun terakhir.

Artinya, sudah terlalu banyak limbah produk fashion yang ada di dunia sehingga dapat mencemari lingkungan.

Untuk mengatasi hal tersebut, banyak aktivis lingkungan mengajak masyarakat untuk belanja pakaian bekas melalui thrift shop.

Munculnya thrift shop diyakini sebagai solusi untuk mengatasi limbah pakaian serta mempromosikan sustainable living yang membawa dampak positif bagi lingkungan.

Sementara itu, dikutip dari jogja.tribunnews, konsep ramah lingkungan dari thrifting ternyata tidak melulu membawa dampak yang positif. Karena harganya yang terjangkau, thrifting dapat membuat orang menjadi konsumtif.

Tak dapat dipungkiri, seringkali membeli pakaian yang tidak pernah dipakai.

Padahal belum tentu akan dipakai nantinya, Apalagi dengan adanya tren thrift shopping haul, yakni influencer membongkar hasil belanjaan pakaian bekas yang sudah mereka beli sebelumnya.

Hal ini bisa membuat audiens juga tertarik untuk juga memborong pakaian bekas.

Bukannya menyelesaikan masalah lingkungan, kondisi seperti ini, membuat thrifting sama saja menimbulkan banyak limbah pakaian.

Merek-merek yang dijual di thrift shop mayoritas adalah merek dari industri fast fashion.

Belum lagi tumpukan pakaian bekas yang tidak laku di pasaran, yang akhirnya juga akan berakhir menjadi jutaan ton limbah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Bahayanya, limbah tekstil ini termasuk limbah yang sulit untuk diuraikan dan diproses.

Ini berarti perjalanan masih panjang untuk meminimalisir limbah dari industri tekstil yang bisa mencemari lingkungan.

Namun, tren thrifting tidak akan memudar dalam waktu dekat. Bisnis ini akan semakin berkembang mengingat peminatnya yang semakin banyak.

Tidak menutup kemungkinan, harga pakaian bekas akan terus naik di beberapa tahun ke depan.

Sebagai konsumen harus bijak dalam melakukan pembelian. Belilah sesuai kebutuhan, bukan keinginan semata.

Beli hanya karena lapar mata hanya akan menambah limbah pakaian, bukan malah menguranginya.

Pakailah pakaian anda miliki sampai pakaian tersebut tidak bisa dikenakan.

Ingat, membeli pakaian baru atau bekas sama saja, karena itu merupakan perilaku konsumsi.

Membeli pakaian bekas memang merupakan salah satu alternatif untuk bergaya sekaligus meminimalisir limbah fesyen, namun yang terpenting tujuan akhir kita yakni mengurangi konsumsi.(*)

1 Comment

Post a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.